Sabtu, 09 Juni 2012
Buzzer Beat berceritakan ttg Kamiya Naoki (Yamashita Tomohisa/Yamapi) yg a/ seorg pemain basket muda dr sebuah tim basketball professional. Tp berhub ukuran tubuhnya kekecilan buat ukuran pemain bola basket, dia ga pernah diturunin ke lapangan u/ bermain dan menunjukkan keahliannya. Sementara itu, Shirakawa Riko (Keiko Kitagawa) a/ seorg lulusan universitas musik yg ceria dan berjiwa kuat yg bercita2 mjd pemain biola professional. Suatu hari Riko menemukan hapenya Naoki di bus, dan pertemuan mereka pun dimulai dan akhirnya mereka pun jatuh cinta. Tp sayangnya, Naoki dah mo merit ma pacarnya yg sekarang. Waduh, dah ada yg punya ternyata… Dan parahnya lg, pelatih basket Naoki jg jatuh cinta pd pandangan pertama dgn Riko!! Haiya.. susah sekali jalinan asmara kalian…
BAB 1 THAHARAH
Kaum Muslimin sangat
memperhatikan masalah thaharah. Banyak buku yang mereka tulis tentang hal itu.
Mereka melatih dan mengajar anak-anak mereka berkenaan dengan thaharah. Ulama
fiqih sendiri menganggap thaharah merupakan satu syarat pokok sahnya ibadah.
Tidaklah berlebihan jika saya katakan, tidak ada satu agama pun yang
betul-betul memperhatikan thaharah seperti agama Islam. Thaharah menurut
bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqih) berarti membersihkan
hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing,
dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas
ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib
wudhu, mandi, dan tayammum. Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan
sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah SWT. Adapun
Thaharah dari najis pada tangan, pakaian, atau bejana, maka kesempurnaannya
bukanlah dengan niat. Bahkan jika secarik kain terkena najis lalu ditiup angin
dan jatuh ke dalam air yang banyak, maka kain itu dengan sendirinya menjadi
suci.” Thaharah dari hadas dan najis itu menggunakan air, sebagaimana
firman Allah SWT:“… dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk
menyucikan kamu dengan hujan itu …. ” (Q.S. Al-Anfal : 11) “… dan Kami
turunkan dari langit air yang amat bersih ….” (Q.S. Al-Furqan: 48) Thahur
(pada ayat di atas) berarti suci pada dirinya sendiri dan menyucikan yang lain.
Para ulama membagi air menjadi dua macam, berdasarkan banyak sedikitnya atau
berdasarkan keadaannya, yaitu: a.
Air Muthlaq dan Air Musta’mab.
Air Mudhaf. Air MuthlaqAir muthlaq ialah air yang
menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau keluar dari
bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air telaga, dan setiap air yang keluar
dari bumi, salju atau air beku yang mencair. Begitu juga air yang masih tetap
namanya walaupun berubah karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah,
debu, atau sebab yang lain seperti kejatuhan daun, kayu atau karena mengalir di
tempat yang asin atau mengandung belarang, dan sebagainya. Menurut ittifaq
(kesepakatan) ulama, air muthlaq itu suci dan menyucikan. Adapun yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa tayammum lebih disukai daripada air
laut, riwayat itu bertentangan dengan hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang berbunyi: “Siapa yang tidak dibersihkan oleh air
laut, maka Allah tidak membersihkannya.” Air Musta’malApabila kita
membersihkan najis dari badan, pakaian, atau bejana dengan air muthlaq, lalu
berpisahlah air bekas basuhan itu dengan sendirinya atau dengan jalan diperas,
maka air yang terpisah itu disebut air musta’mal. Air semacam itu hukumnya
najis, karena telah bersentuhan dengan benda najis, meskipun itu tidak
mengalami perubahan apapun. Air itu tidak dapat digunakan lagi untuk
membersihkan hadas atau najis. Para ulama mazhab berkata: Apabila air
berpisah dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya menjadi najis.
Kalau air itu berpisah tidak bersama najis, maka hukumnya bergantung pada
tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya,
jia tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan
melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan.
Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa tempat yang dilalui
air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu
hukumnya najis. Air musta’mal telah digunakan untuk berwudhu atau
mandi sunnah, seperti mandi taubat dan mandi jum ‘at, hukumnya suci dan
menyucikan untuk hadas dan najis; artinya air itu dapat digunakan untuk mandi
wajib, berwudhu, atau menghilangkan najis. Adapun air musta’mal yang telah
digunakan untuk mandi wajib, seperti mandi junub, dan mandi setelah haid, maka
ulama Imamiyah sepakat bahwa air itu dapat menyucikan najis tetapi
berbeda pendapat tentang dapat tidaknya air itu digunakan untuk menghilangkan
hadas dan berwudhu, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lain
melarang. Catatan:Apabila orang yang berjunub menyelam ke dalam air
yang sedikit, setelah ia menyucikan tempat yang terkena najis, dengan niat
membersihkan hadas, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta’mal
dan tidak menghilangkan janabah, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan
Syafi’i, Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa air itu menjadi
musta’mal tetapi menyucikan janabah orang lersebut, sehingga ia tidak wajib
mandi lagi.1 Air MudhafAir Mudhaf ialah air perahan dari
suatu benda seperti limau, tebu, anggur, atau air yang muthlaq pada asalnya,
kemudian bercampur dengan benda-benda lain, misalnya air bunga. Air semacam itu
suci, tetapi tidak dapat menyucikan najis dan kotoran. Pendapat ini me-rupakan
kesepakatan semua mazhab kecuali Hanafi yang membolehkan bersuci dari
najis dengan semua cairan, selain minyak, tetapi bukan sesuatu yang berubah
karena dimasak. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Asy-Syahid Murtadha dari
Imamiyah. Semua mazhab, kecuali Hanafi, juga sepakat tentang
tidak bolehnya berwudhu dan mandi dengan air mudhaf, seperti yang disebutkan
oleh Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid dan
kitab Majma’ Al-Anhar.2 Hanafi berkata : “Seseorang
musafir harus (boleh) berwudhu’ dengan air perahan dari pohon kurma.” 1
Ibnu Qudamah: Al-Mughni, jilid I, hal 22 cetakan ketiga dan ibnu
Abidin , I;hal. 140 cetakan Al-Maimaniyah.2 Ibnu
Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, hal. 32, cetakan 135 H. Dan kitab Majma AlrAnhar,
hal 37, cetakan Istambul Ibnu Qudamah menyebutkan,3 bahwa mazhab Hanafi
membolehkan berwudhu’ dengan air mudhaf. Syaikh Shadiq dari Imamiyah berkata:
“Sah berwudhu dan mandi junub dengan air mawar.” Hanafi mengambil
dalil atas pendapatnya bahwa air mudhaf boleh digunakan untuk berwudhu, dari
ayat Al-Qur’an : “Maka
jika tidak ada air, hendaklah kamu tanyammum dengan debu yang bersih..” (Q.S.
Al-Maidah :6) Menurut Hanafi, makna ayat itu adalah: Jika tidak ada
air muthlaq dan air mudhaf, maka bertayammumlah. Tetapi jika ada air mudhaf, maka
tayammum tidak dibolehkan. Mazhab lain berdalil dengan ayat ini juga
untuk melarang pemakaian air mudhaf untuk berwudhu. Mereka berkata bahwa kata
al-ma’u di dalam ayat itu maksudnya air muthlaq saja, tidak mencakup air
mudhaf. Dengan demikian, maksud ayat di atas (Al-Maidah : 6) adalah:
“Apabila tidak ada air muthlaq, maka bertayammumlah….” Air Dua
KullahSemua mazhab sepakat, bahwa apabila air berubah warna, rasa, dan
baunya karena bersentuhan dengan najis, maka air itu menjadi najis, baik
sedikit atau banyak, bermata air ataupun tidak bermata air, muthlaq atau pun
mudhaf. Apabila air itu berubah karena melewati bau-bauan tanpa bersentuhan
dengan najis, misalnya ia berada di samping bangkai lalu udara dari bangkai itu
bertiup membawa bau kepada air itu, maka air itu hukumnya tetap suci.Apabila
air bercampur dengan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya, maka
Imam Malik berkata berdasarkan suatu riwayat: Air itu bersih, sedikit atau
banyak. Sedang mazhab yang lain, berpendapat: Jika air itu sedikit
menjadi najis, dan jika banyak tetap suci. Meskipun demikian, mereka berbeda
pendapat dengan ukuran banyak sedikitnya.Syafi’i dan Hambali
berpendapat bahwa yang digolongkan banyak itu adalah dua kullah, seperti yang
disebutkan oleh hadis: “Apabila air sampai dua kullah, maka ia tidak
najis”. Yang disebut dua kullah sama dengan 500 kati Iraq. Menurut
sebagian syaikh Azhar, dua kullah ialah dua belas tankah. Imamiyah berkata:
Yang disebut banyak itujika sampai satu karra, sebagaimana Hadis: “Apabila
air itu sampai satu karra, maka ia tidak menjadi najis. “ Satu karra sama
dengan 1200 kali Iraq. Kira-kira 27 tankah. Hanafi berkata: Yang disebut
banyak ialah jika air itu digerakkan di satu bagian, maka bagian yang lain
tidak ikut bergerak.Seperti yang telah kami jelaskan di atas, Imam Malik
tidak memberikan penjelasan tentang dua kullah dan karra, dan tidak ada ukuran
tertentu bagi air pada mazhab mereka, sedikit atau banyak sama saja. Yang
penting, jika air itu berubah salah satu dari sifat-sifatnya, maka air menjadi
najis; jika tidak, ia tetap suci. Pendapat ini sesuai dengan pendapat salah
seorang Imamiyah, Ibnu Abi Aqil, berdasarkan hadis: “Air itu pada
dasarnya suci. la tidak menjadi najis oleh sesuatu kecuali berubah warna, rasa,
dan baunya. “ Tetapi
hadis di atas bersifat umum, sedangkan hadis dua kullah atau karra bersifat
khusus, dan khusus mesti didahulukan daripada umum. Imam Hanafi
juga tidak memberikan ukuran dengan dua kullah dan karra, tetapi diukur dengan
sistem gerakan sebagaimana tersebut di muka. Saya sendiri tidak mendapati
penentuan dengan “gerakan” ini secarajelas atau athardi dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadis. Catatan:Syafi’i dan Imamiyah berkata: Cairan lain
seperti cuka dan minyak, menjadi najis bila tersentuh najis, sedikit atau
banyak, berubah atau tidak. Inilah yang dimaksud oleh ushul syara’, seperti
sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang telah dikenal: “Apabila
air itu sampai dua kullah maka tidaklah menajiskannya sesuatu “.Air itu ialah air muthlaq. Hanafi berkata:
Hukum cairan selain air seperti air muthlaq, sedikit ataupun banyak. Sedikit
najis yang menyentuh akan men-jadikan najis jika air berjumlah sedikit, dan
tidak najis jika air itu banyak. Di dalam Hasyiah Ibnu Abidin44
Ibnu Abidin, I, hal. 130, cetakan AI-Maimaniyah. Hukum
cairan itu seperti air menurut asalnya. Dengan demikian, jika ke dalam air
perahan yang jumlahnya banyak bertumpah air kencing, maka air perahan itu
menjadi najis; begitu pula darah, kaki pemerah tidaklah menajiskannya. Air
Mengalir dan Air TenangMazhab-mazhab berbeda pendapat tentang air yang
mengalir, Hanafi berkata: Setiap air yang mengalir, sedikit atau banyak
berhubungan dengan benda atau tidak, tidaklah menjadi najis hanya karena
bersentuhan dengan najis. Malah, jika ada air najis dalam sebuah bejana dan air
bersih dalam bejana yang lain, kemudian kedua jenis itu dicurahkan dari tempat
yang tinggi sehingga keduanya bercampur di udara dan jatuh kebawah, maka
campuran kedua jenis air itu hukumnya suci. Begitu juga jika keduanya dialirkan
diatas bumi.55 Ibnu Abidin, l, hal. 131. Hanafi
menolak pendapat bahwa kedua macam air dibawah ini, tidak menjadi najis jika
bersentuhan dengan najis, yakni: Pertama: Air tenang yang bila
digerakkan salah satu bagiannya, bagian yang lain tidak ikut bergerak. Kedua:
Air mengalir dengan jalan apapun. Adapun air sedikit yang tidak menjadi
najis jika bersentuhan dengan benda najis, maka keadaannya seperti air tenang
yang jumlahnya sedikit, yang jika digerakkan di satu bagian, bagian lain-nya
ikut bergerak. Mazhab Syafi’i tidak membedakan antara air mengalir
dan air tenang yang memancar atau tidak, tetapi ditetapkan berdasarkan banyak
dan sedikitnya air. Banyak ialah dua kullah: Bila bersentuhan dengan najis ia
tidak menjadi najis. Sedangkan air yang kurang dari dua kullah akan menjadi
najis jika bersentuhan dengan benda najis. Pendapat ini berdasarkan
hadis: “Apabila air sebanyak dua kullah, ia tidak membawa najis. “ Syafi’i
berkata: Jika air yang mengalir itu cukup dua kullah dan tidak berubah walaupun
ia bercampur barang najis, maka semua air itu suci. Jika air yang mengalir itu
tidak sampai dua kullah, maka yang mengalir (bersama najis) itu hukumnya najis,
sedangkan yang mengalir sebelum dan sesudahnya, hukumnya suci. Perbedaan
pendapat antara Syafi’i dan Hanafi dalam hal air mengalir itujauh
sekali. Hanafi berpendapat, bahwa “mengalir” itu walaupun sedikit, ada
sebab yang menjadikannya suci, seperti contoh yang disebutkan di muka: Yakni sebuah bejana yang berisi air bersih, dan
bejana lain yang berisi air kotor, maka keduanya menjadi suci jika dicampur
denganjalan dialirkan. Sedangkan Syafi’i tidak memperlihatkan jalan
bercampurnya tetapi menekankan jumlahnya. Menurut Syafi’i, sekalipun
sungai yang besar, bagian air yang mengalir bersama najis tetap najis hukumnya.
Dan setiap bagian yang mengalir itu terpisah dari bagian lainnya. Hambali
berkata: Air yang tenang, bila kurang dari dua kullah menjadi najis walaupun
hanya bersentuhan dengan najis, baik memancar ataupun tidak. Sedangkan air yang
mengalir tidak menjadi najis jika bercampur dengan benda najis, kecuali
berubah. Hukum-nya seperti air yang jumlahnya banyak. Pendapat ini dekat dengan
pendapat Hanafi. Adapun Maliki, seperti telah kami jelaskan,
berpendapat bahwa air yang sedikit tidak menjadi najis dengan hanya bersentuhan
dengan najis, dan tidak ada beda antara air yang mengalir dan air yang tenang.
Jelasnya, mereka tidak memperhatikan perubahan air itu karena najis. Jika air
itu berubah karena bersentuhan dengan najis, maka ia menjadi najis. Sebaliknya
jika air itu tidak mengalami perubahan apa-apa, maka hukumnya tetap suci, baik
sedikit mau” pun banyak, memancar atau tidak.Imamiyah berkata: Tidak ada
tanda untuk menentukan air itu mengalir atau banyak. Jika air itu berhubungan
dengan air pancaran (mata air) walaupun perlahan maka dianggap air itu sama hukumnya
seperti air banyak. la tidak menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis,
walaupun jumlah air itu sedikit dan berhenti. Sebab, pada mata air itu ada
kekuatan pusat air dan air yang banyak. Apabila air itu tidak berhubungan
dengan mata air, maka jika jumlahnya satu karra (dua kullah) tidak menjadi
najis bila bersentuhan dengan benda najis, kecuali jika berubah salah satu
sifatnya. Apabila jumlahnya tidak mencapai satu karra, maka air itu menjadi
najis bila bersentuhan dengan najis, baik ia mengalir ataupun tidak. Hanya
saja, apabila mengalir, bagian atas air itu tidaklah najis. Air
Menyucikan NajisApabila ada air yang sedikit menjadi najis dengan
bersentuhan dengan najis, tetapi tidak mengalami perubahan sifat apapun, maka
Imam Syafi’i berpendapat: Jika air itu dikumpulkan sampai cukup dua
kullah, ia menjadi suci dan menyucikan najis, baik cukupnya itu karena
bercampur dengan air suci maupun dengan air najis, danjika air itu dipisahkan
,tetap suci hukumnya. Jika seseorang mempunyai dua atau lebih bejana, dan
tiap-tiap bejana itu mengandung najis, kemudian air-air najis itu dikumpulkan
dalam satu tempat hingga mencapai dua kullah, maka air tersebut suci dan
menyucikan.6 Hambali dan kebanyakan fuqaha Imamiyah
berkata: Air yang sedikit itu tidak menjadi bersih dengan mencukupkannya
menjadi dua kullah, baik dengan air bersih maupun dengan air najis. Karena
mengumpulkan air najis dengan sejenisnya tidaklah menjadikan kumpulan itu suci.
Begitu pula, air suci yang sedikit menjadi najis, dengan sentuhan air najis.
Oleh karena itu, jika hendak bersuci, cukuplah air itu sampai satu karra atau
dengan air pancaran menurut mazhab Imamiyah, sedangkan mazhab Hambali
mewajibkan sampai dua kullah. Menurut mazhab Syafi’i dan
Hambali, apabila air yang banyak mengalami perubahan karena terkena najis,
maka air itu dapat disucikan dengan hanya menghilangkan perubahan yang terjadi.
Imamiyah berkata: Jika tidak ada mata air pada air yang banyak itu, maka
tidaklah suci hanya dengan menghilangkan perubahannya; bahkan setelah hilang
perubahannya kita masih harus memasukkan satu karra air suci ke dalamnya, atau
menghubungkannya dengan mata air, atau ia bercampur sendiri dengan air hujan.
Jika pada air itu ada mata air, maka ia suci dengan hilangnya perubahan yang
terjadi, sekalipun sedikit. Maliki berpendapat: Menyucikan air yang
terkena najis itu dapat dengan cara mencurahkan air muthlaq di atasnya hingga
hilang sifat najis itu. Hanafi berpendapat: Air yang najis itu
menjadi bersih dengan cara mengalirkannya. Jika ada air yang najis di dalam
bejana, kemudian dicurahkan air ke atasnya hingga mengalir keluar dari
tepi-tepinya, maka menjadi sucilah air itu. Begitu juga, jika ada air najis di
dalam kolam atau lubang, kemudian digali lubang lain meskipun jaraknya dekat,
dan dialirkan air najis pada saluran di antara kedua lubang itu sehingga semua
air itu berkumpul pada satu lubang, maka semuanya menjadi suci. Jika air
kembali menjadi najis karena suatu hal, maka dengan cara yang sama dapat
dilakukan untuk menyucikannya, yaitu dengan menggali lubang lain dan mengalirkannya
hingga berkumpul pada satu lubang. Begitu seterusnya. Oleh karena itu, air
yang tidak boleh anda gunakan untuk berwudhu ketika ia tenang, dapat anda gunakan
dengan cara mengalirkannya dengan cara apapun. Bahkan,jika ada bangkai
sekalipun didalamnya, atau orang kencing di bawahnya, tidak ada tanda bahwa air
itu mengalir dan diketahui bahwa air itu tidak berhubungan dengan mata air,
jika dialirkan, maka air itu menjadi suci. Najis-Najis
- Anjing: najis, kecuali mazhab Maliki yang berkata: Bejana yang dibasuh tujuh kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abbud (beribadat). Syafi’i dan Hambali berkata: Bejana yang terkena jilatan anjing mesti dibasuh sebanyak tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah. Imamiyah berkata: Bejana yang dijilati anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan dua kali dengan air.
- Babi: Semua mazhab, berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali mazhab Imamiyah yang mewajibkan mernbasuh bejana yang terkena babi sebanyak tujuh kali dengan air saja. Begitu juga hukumnya dengan bangkai tikus darat (yang besar).
- Bangkai: Semua mazhab sepakat, bahwa bangkai binatang darat – selain manusia – adalah najis jika pada binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakannya suci. Hanafi berpendapat, bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat suci dengan mandi. Begitu juga pendapat Imamiyah, tetapi terbatas pada bangkai orang Islam. Dan semua mazhab sepakat bahwa kesturi yang terpisah dari kijang adalah suci.
- Darah: Keempat mazhab sepakat bahwa darah adalah najis kecuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga halnya dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan darah kepinding (tinggi) Imamiyah berkata: Semua darah hewan yang darahnya mengalir, juga darah manusia yang mati syahid atau bukan, adalah najis. Sedangkan darah binatang yang tidak mengalir darahnya, baik binatang laut atau binatang darat, begitu juga tinggalan pada persembelihan, hukumnya suci.
- Mani: Imamiyah, Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak Adam dan lainnya adalah najis, tetapi khusus Imamiyah mengecualikan mani binatang yang darahnya tidak mengalir, untuk binatang ini Imamiyah berpendapat, rnani dan darahnya suci, Syafi’i berpendapat, mani anak Adam suci, begitu pula semua binatang selain anjing dan babi, Hambali berpendapat mani anak Adam dan mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci; tetapi mani binatang yang dagingnya tidak dimakan adalah najis.
- Nanah: Najis menurut empat mazhab dan suci menurut Imamiyah.
- Kencing: Air kencing dan kotoran anak Adam adilah naps menurut semua mazhab.
- Sisa Binatang: Ada dua kelompok binatang, yaitu yang terbang dan yang tidak terbang. Masing-masing kelompok itu dibagi menjadi dua, yaitu yang dagingnya dimakan dan yang dagingnya tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Maliki menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang yang dagingnya dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang dagingnya tidak dimakan misalnya serigala, dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa pendapat dari masing-masing mazhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syafi’i berkata: Semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya najis. Kotoran unta dan kotoran kambing najis. Kotoran kuda, bagal, dan lembu, semuanya najis. Imamiyah berkata: Sisa-sisa burung yang dagingnya dimakan ataupun tidak, semuanya suci; begitu juga hewan yang darahnya tidak mengalir, baik yang dagingnya dimakan maupun tidak. Adapun binatang yang mempunyai darah mengalir, jika dagingnya dimakan, seperti unta dan kambing maka sisanya suci; dan jika dagingnya tidak dimakan seperti beruang dan binatang buas lainnya maka sisanya najis. Dan setiap binatang yang dagingnya diragukan halal-haramnya, maka sisanya suci hukumnya. Hanafi berkata: Sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisanya suci; jika buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis. Hambali dan Syafi’i berkata: Sisa-sisa binatang yang dagingnya dimakan hukumnya suci; sedangkan sisa-sisa binatang yang darahnya mengalir dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang terbang maupun tidak. Dan semua mazhab sepakat bahwa sisa binatang yang najis itu adalah najis.
- Benda cair yang memabukkan: Adalah najis menurut semua mazhab. Tetapi Imamiyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada upaya menjadikan benda memabukkan yang cair diubah menjadi beku untuk menghindari hukum najisnya, padahal hukumnya tetap najis. Ada baiknya jika kita petik kata-kata salah seorang pengarang fuqaha Imamiyah: Ulama Sunnah dan Syi’ah sepakat tentang najisnya arak, kecuali sebagian dari kami dan sebagian dari mereka yang menyalahi ketentuan ini, dan mereka tidak diakui oleh kedua kelompok.
- Muntah: Hukumnya najis menurut empat mazhab dan suci menurut Imamiyah.
- Madzi dan Wadzi: Keduanya najis menurut mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi, serta suci menurut mazhab Imamiyah.
Hambali berpendapat madzi suci sedangkan wadzi
najis.Madzi adalah cairan yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan
seksual dan wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing. Empat
mazhab berpendapat bahwa muntah, madzi dan wadzi hukumnya najis, sedangkan
Imamiyah berpendapat tidak. Bahkan Imamiyah satu-satunya mazhab yang
berpendapat bahwa peluh orang yang junub, baik junub karena zina, liwat, dengan
binatang, atau berusaha mengeluarkan mani dengan cara apa-pun, adalah
najis. Sisa Air dalam BejanaHanafi, Syafi’i dan Hambali
berkata: Sisa air anjing dan babi hukumnya najis. Mereka juga sepakat bahwa
sisa air dari bagal dan keledai itu suci tetapi tidak menyucikan. Hambali
berkata: Tidak boleh berwudhu dengan sisa air dari semua binatang yang
daging-nya tidak dimakan kecuali kucing hutan dan yang lebih kecil darinya
seperd tikus dan Ibnu Am (hampir sama dengan tikus). Hanafi
menghubungkan sisa anjing dan babi itu dengan sisa peminum arak segera setelah
ia meminumnya. Begitu juga halnya sisa kucing setelah makan tikus, sisa
binatang buas seperti singa, serigala, harimau binatang dan harimau belang,
musang, dan al-dhubu”77 Ibnu Abidin, I: 156. Imamiyah berkata:
Sisa air yang diminum binatang najis seperti babi dan anjing hukumnya najis.
Sisa air yang diminum binatang bersih hukumnya suci, baik binatang yang
dagingnya dimakan maupun tidak. Maliki berkata: Sisa air yang diminum
anjing dan babi, suci dan menyucikan serta dapat diminum.8 Hukum
Khalwat Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa
menghadap Kiblat atau membelakanginya ketika berhajat, dalam lindungan atau
tempat lapang yang ada pelindungnya, hukumnya tidak haram. Mereka berselisih
pendapat tentang berhajat di tempat lapang yang tidak terlindung.
Syafi’i dan Hambali berpendapat tidak haram, sedangkan
Maliki berpendapat haram. Hanafi berpendapat, bahwa makruh berhajat
di dalam ruangan dan haram berhajat di tempat lapang sehubungan dengan
membelakangi atau menghadap Kiblat. Imamiyah berkata: Haram
menghadap Kiblat dan membelakanginya baik dalam ruangan atau di tempat lapang,
ada pelindung ataupun tidak. Semua mazhab sepakat bahwa air yang
suci itu dapat menyucikan najis dari tempat keluar kencing dan tinja.
Empat mazhab berpendapat bahwa batu memadai untuk membersihkan
keduanya. Imamiyah berpendapat: Tidak memadai menyucikan tempat keluar
kencing kecuali dengan air. Adapun tempat keluar tinja, dapat memilih di
antara basuhan air dan sapuan dengan tiga biji batu atau potongan-potongan kain
kecil yang suci, hal ini (pilihan yang kedua) dilakukan jika najis itu tidak
mengalir dari tempat keluarnya, jika mengalir maka hendaknya dibersihkan dengan
air.9 Batu dan sejenisnya untuk menyapu itu jumlahnya dipastikan
pada mazhab Imamiyah, Syafi’i dan Hambali, walaupun dengan kurang
dari tiga biji sudah bersih. Tetapi Maliki dan Hanafi tidak
menganggap jumlah batu itu sebagai syarat, hanya saja ia mengharuskan menyucikan
najis dari tempat keluarnya, dengan benda cair yang bersih selain air. end
Langganan:
Postingan (Atom)